Twitter

Hantu Gepeng Dulu Populer Akibat Gegar Budaya Urban di Indonesia

Author judie julianty - -
Home » , , , , » Hantu Gepeng Dulu Populer Akibat Gegar Budaya Urban di Indonesia

Hantu Gepeng Dulu Populer Akibat Gegar Budaya Urban di Indonesia


hantu ini populer. Kita bisa menduga maraknya pembangunan ini mencetak kelas konsumen baru seiring modernisasi kota, menghasilkan cerita hantu bule sugar daddy tergencet lift.

Kami percaya cerita-cerita hantu yang khas Indonesia tidak begitu saja muncul dari ruang hampa. Sebagai folklore, cerita-cerita itu adalah ekspresi kultural suatu masyarakat tertentu, yang diteruskan dari mulut ke mulut, dari generasi satu ke generasi berikutnya. Dalam banyak kasus, cerita hantu bahkan punya peran sosiologis, peran yang jauh lebih besar daripada menakut-nakuti bocah semata. 


Cerita hantu masa kecil saya tergolong garing. Saking garingnya saya malah enggak pernah denger yang namanya hantu mister gepeng. Padahal, konon, mister gepeng adalah salah satu hantu paling ngetop di era 90-an before social media was even cool. Olala, kasihan sekali masa kecil saya. Apa karena saya tinggal di pelosok desa atau mungkin karena saya kurang peka dengan gosip di sekeliling saya? Bisa jadi karena dua-duanya.

Kita mulai dari awal dulu. Pertama kali mendengar soal mister gepeng terjadi satu bulan lalu ketika saya bersama kolega nongkrong bareng sambil ngopi dan sebats. Seorang teman lantas bilang bahwa mister gepeng sebenernya adalah sosok sugar daddy yang mati terlalu cepat.

Konon, menurut legenda urban, mister gepeng, yang ditaksir berusia awal 40-an dan sedang di puncak kariernya, tewas tergencet elevator sambil membawa sekoper penuh uang. Tapi buat menjelaskan seperti apa sosok mister gepeng semasa hidup tak pernah ada jawaban pasti. Apakah mister gepeng berdandan dandy dengan setelan jas kedodoran macam Hotman Paris? Wallahuallam.

Yang jelas dari rumor yang bergulir secepat kilat dari Jakarta ke pelosok negeri macam meme yang viral, mister gepeng adalah sosok yang gemar membagi uang dan bisa dipanggil dengan ritual tertentu. Dan lagi-lagi konon, kamu bisa menelepon mister gepeng di nomor 7777777, dan voila! segepok uang bakal tiba-tiba muncul di toilet kamu.

Cerita tersebut terus direproduksi dan populer di kalangan anak sekolah sampai akhir 90-an. Dan karena saya baru dengar cerita itu di paruh akhir 2018, maka saya berinisiatif untuk membedah mitos urban tersebut dari sudut pandang pribadi. Mungkin pula usaha tersebut didasari karena saya kesal dengan masa kecil yang enggak seru dan jauh dari cerita-cerita hantu.


Hipotesis pertama: mister gepeng enggak siap dengan perubahan yang terlalu cepat. Ini membuat mister gepeng menjadi sosok yang gagap teknologi dan kurang aware terhadap kemunculan teknologi baru. Akhirnya terjadilah kecelakaan tersebut.

Cepatnya laju pembangunan sesudah booming bisnis minyak 1970-an memungkinkan banyak orang naik kelas menjadi orang kaya baru (OKB) yang masih kaget dengan perkembangan budaya. Kemungkinan besar, mister gepeng masuk dalam kategori OKB yang ke mana-mana bawa segepok duit.

Pertumbuhan kota Jakarta memang tergolong cepat. Saat lepas dari cengkeraman pemerintah kolonial Belanda, Jakarta ibarat prajurit yang terluka parah sehabis peperangan besar. Inflasi meroket, APBD mengalami defisit, kemiskinan mendera, infrastruktur dan transportasi pincang, sementara arus urbanisasi dari desa terus merangsek. Saat Ali Sadikin menjabat gubernur Jakarta, dibuatlah rancangan induk (masterplan) kota Jakarta 1965-1985 dengan ambisi membuat ibu kota tersebut sebagai metropolitan yang bermartabat. Dari situ Ali mulai membuka keran investasi swasta buat memodali pembangunan.


Siapa yang menyangka, kini pembangunan yang seharusnya membuat orang Jakarta hidup bermartabat, justru menjadi bola liar yang malah menggilas manusianya. Kini lebih dari empat abad kemudian, The Council on Tall Buildings and Urban Habitat (CTBUH) pada 2015 mencatat Indonesia sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan gedung bertingkat tinggi tercepat di dunia. Tak kurang dari 345 gedung bertingkat kini berdiri tegak mencakar langit Jakarta, membuat kota tersebut kelebihan pasokan gedung perkantoran.

Pertumbuhan pesat namun tidak manusiawi tersebut barangkali membuat orang-orang yang hidup dalam suatu kota menjadi tidak siap alias mengalami gegar budaya. Dari yang awalnya hidup nyaman di kampung, kini harus dihadapkan dengan menara raksasa. Dari yang awalnya hidup rukun gotong royong—seperti impian Bang Ali dengan program kampung-isasinya—kini harus sikut-sikutan, gontok-gontokan berebut naik ke puncak gedung.

Kedua, bisa jadi sosok mister gepeng sengaja diciptakan oleh kaum aristokrat alias Orang Kaya Lama. Seperti Partai menciptakan Bung Besar buat mengawasi rakyatnya di novel 1984. Bedanya mister gepeng dibikin buat menyemangati kaum miskin kota supaya semakin bisa dihisap tenaganya dengan iming-iming naik kelas, persis seperti mister gepeng. "Ayo bekerja dengan keras, supaya bisa naik kelas."

Tentu saja, segregasi sosial dan kelas amat mencolok di Jakarta. Tak perlu penjelasan panjang lebar kalau soal ini. Segregasi kelas sosial ini penting buat para konglomerat. Apa naik Bentley akan senikmat itu jika semua orang bisa membelinya secara kredit macam motor sejuta umat Honda Supra? Apakah rasa steak wagyu dengan tingkat kematangan medium rare tetap enak ketika warteg pun menyajikannya?


Jangan ngimpi, tentu saja tidak. Maka untuk mengamankan posisinya, kaum feodal dan aristokrat bakal melakukan segala cara, termasuk mengadu domba rakyat proletar (seperti saya dan kamu). Untuk itu, perlu diciptakan sebuah sosok yang sukses menggenggam setumpuk duit untuk menarik semangat kerja rakyat jelata, meski sosok tersebut harus bernasib tragis.

Ahh, barangkali saya terlalu iri dan dengki sampai-sampai menuduh konglomerat berkonspirasi menciptakan hantu mister gepeng. Toh, bisa saja sosok mister gepeng diciptakan oleh perusahaan telekomunikasi agar orang ramai-ramai menelepon sampai tagihan telepon rumah membengkak dan orang tua mencak-mencak karena anaknya bikin keuangan rumah megap-megap.

Kini hantu mister gepeng surut pamornya. Jakarta dan sekitarnya tak lagi mengalami gegar budaya, meski kantong-kantong orang miskin masih berdiri anteng di bantaran Kali Ciliwung. Tapi setidaknya kita tak lagi perlu sosok mister gepeng buat mengejar kekayaan, 


One Response so far.